Dalam pengembangan da’wah, orisinilitas harus selalu terjaga dan terpelihara, sehingga memiliki landasan yang kuat dan kokoh untuk terus bergerak. Dan da’wah sangat terkait dengan takwin, maka ketika kita bicara pada tataran konsep, kader dan aktivis harus berpegang teguh pada apa yg disebut dengan Idealisme Da’wah. Karena seberat apapun ujian dalam da’wah, selama kader memiliki pegangan yang kuat dalam melangkah, maka idealisme da’wah akan tetap terjaga dan terpelihara.
Karenanya kita harus memahami tentang Ta’shil Da’awi (orisinilitas dalam da’wah). Keberhasilan kader dan aktifis menjaga Ta’shil Ad Da’awi akan memberikan kekuatan yang sangat penting dalam takwin (pengembangan) dan kemenangan da’wah. Karenanya kader dan aktivis perlu memperhatikan hal – hal yang prinsip dalam Ta’shil Da’awi sehingga asholah da’wah tetap menjaga.
Diantara hal2 yg prinsip dalam ta'shil da'awi, agar asholah dakwah tetap terjaga adalah :
Pertama, Ta’shil Syar’i (kemurnian syariat). Kader dan aktifis harus kembali kepada kemurnian dan keutuhan syariat. Tidak ada fiquh da’wah tanpa fiquh syari’ah, karenanya ruang lingkup gerak da’wah harus berada dalam bingkai syari’at. Jadi, ketika kita bicara tentang syariat tidak lebih pada Ahkamul khomsah (hukum yang lima), yaitu halal, haram, wajib, makruh, dan sunnah. Setiap gerak para kader dan aktifis harus berada dalam frame Ahkamu syariah (hukum syariah) . Apakah hal tersebut wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.
Ketika berbicara tentang ta’shil syar’i, tidak bisa lepas dari fiquh Aulawiyah Syari’ah (skala prioritas dalam syari’ah), dengan sikap yang haram (tinggalkan), mubah (pilih sesuai dengan kemaslahatan), makruh (hindari), sunnah (tingkatkan).
Dengan skala prioritas ini kita tidak disibukkan oleh hal yang mubah dengan meremehkan kewajiban atau melaksanakan yang sunnah tanpa melakukan kewajiban. Artinya, sikap yang tepat dalam menjalankan syariat adalah, memulai dari yang wajib. Jika wajib ain harus diutamakan baru menjalankan kewajiban yang bersifat kifayyah, baru menjalankan sunnah. Sunnah muakkadah lebih didahulukan daripada sunnah mandubah, baru melakukan yang mubah sebagai pilihan terakhir.
Gerak para kader dan aktifis harus terus berada dalam frame hukum syariah yang terikat dengan fiquh prioritas.
Dalam konteks sekarang, kebiasaan menonton bola atau film hukumnya bisa makruh karena menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak berguna bahkan kita bisa terjebak pada haram.
Dan dalam surat Al Mukminun Allah menggambarankan mengenai sifat orang mukmin yang mendapatkan kemenangan serta mewarisi surga Firdaus adalah salah satunya menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.
contoh lain adalah, kita sibuk memperdebatkan hukum tentang celana di bawah mata kaki atau diatas mata kaki adalah pembahasan yang sia – sia dan menghabiskan waktu jika di belahan bumi lain banyak saudara – saudara kita dibantai, diblokade, dan terdholimi oleh musuh – musuh islam.
(bukan berarti kita cuek thd hadits ttg ISBAL, tapi kita memahami bhw para ulama sepakat, tmsk ulama dari kalangan salafiyun--- bhw isbal dilarang jika tujuannya adalah utk kesombongan...jadi, maksud hadits isbal ini adalah soal KIBR, bukan kain yg panjang melebihi mata kaki...)
Kedua, Ta’shil Al Fikri (keaslian fikroh).
Kader dan aktifis harus menjaga kemurnian dan orisinilitas fikroh, konsep atau manhaj. Jadi, ketika kader dan aktifis hendak berpikir, mengemukakan wacana, berpendapat, menelurkan ide serta gagasan, maka harus berlandaskan Al Qur’an dan sunnah Rasul, bukan sekedar beropini atau berbicara tanpa punya landasan yang jelas.
Dan untuk memudahkan pemahaman terhadap manhaj berpikir sesuai Al Qur’an dan Sunnah, Imam Hasan Al Banna telah memudahkan kita dengan formulasi Ushul Isyrin. Para kader dan aktifis da’wah harus Istis’ab atau 'menguasai' dan memiliki pendalaman tentang ushul isyrin. Karena semua permasalahan yang kita hadapi dalam berbagai bidang kehidupan, solusinya ada dalam Ushul Isyrin.Z
Ushul isyrin harus dikaji secara mendalam dan komperhensif lalu sebagai kader dan aktifis kita berusaha mengaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari. Karena dengan kaidah – kaidah yang terangkum dalam dua puluh prinsip (intisari dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul) adalah salah satu ijtihad abad ke-20 yang dilakukan oleh Imam Hasan Al Banna yang tidak dilakukan oleh ulama terdahulu. Di dalamnya terkait dengan berbagai macam permasalahan kehidupan termasuk mengenai jama’ah, khilafiyah, pemikiran dan lainnya.
Artinya kalau kita ingin menjaga konsep da’wah ini, maka semuanya telah terangkum dalam ushul isyrin. Bahkan seluruh tulisan atau karya ilmiah yang ditulis oleh para qiyadah da’wah atau masyaikh da’wah, semuanya mengambil rujukan dari ushul isyrin.
Kita dapat membaca buku yang ditulis oleh syeikh Musthofa Masyhur semua rujukannya adalah ushul isyrin. Dan ketika Yusuf Qardhawi menulis dalam konsep berpikir manhaj, rujukannya adalah ushul isyrin.
Jadi, bukan sekedar mengetahui 20 prinsip, tapi yang lebih penting bagaimana kita harus memahami dan mengaktualisasikan dalam kehidupan kita sehari – hari. Masalah ini dapat diatasi dengan Ta’shil Al Fikri (internalisasi tentang fikroh).
Ketiga, Ta’shil Haroki (kemurnian berharoki).
Berbicara tentang da’wah adalah gerak aktifitas atau kerja. Bukan wacana apalagi gosip. Da’wah adalah harok —bekerja aktif. Maka tidak asholah dan tidak murni lagi (palsu) kalau masih ada kader da’wah dan aktifis yang tidak aktif.(mosok aktifis kok tidak aktif...ganti aja namanya jd pasifis ya...he..he...
Tidak Asholah lagi jika hanya pandai berwacana tapi tida ada kontribusi atau pastisipasi dalam da’wah. Karena orisinilitas da’wah di antaranya ta’shil haroki (bergerak dan terus bekerja), bukan banyak debat atau diskusi tapi tanpa berbuat dan berkarya untuk da’wah. Yang harus selalu menjadi pertanya para kader dan aktifis adalah, “Apa kontribusi saya dalam da’wah?” Bukti kalau kader dan aktifis masih asholah dalam da’wah adalah memiliki peran atau kontribusi aktif serta terlibat penuh dalam partisipasi aktif. Jadi, kalau masih ada kader yang tidak terlibat, tidak aktif maka ta’shil harokinya tidak berjalan dengan baik.
akhiy fillah, da’wah adalah haroki. Hal ini terbukti dalam sejarah kehidupan nabi dan para sahabatnya. Rasulullah saw selama di Madinah bersama para sahabat melakukan peperangan selama 100x. Di Madinah 10 tahun. Mulai perang tahun ke-2. Seratus kali antara yang dipimpin oleh Rasul dan dipimpin oleh sabahabat, antara yang terjadi perang dan yang tidak terjadi perang, dan antara perang yang besar dan yang kecil. Hal ini menunjukkan adanya mobilitas yang luar biasa, dan tanpa ada kesempatan untuk istirahat, bersantai – santai bagi kader da’wah. Untuk kondisi kita saat ini, tidak ada lagi kesempatan untuk nonton bola, nonton film, berdebat mengenai hal yang remeh, dan berpikir yang “aneh – aneh” ; tapi semuanya dalam kondisi siaga penuh dalam menjalankan tugas da’wah
Kalau kita perhatikan dengan baik bahasa – bahasa Al Qur’an, sebetulnya tidak mengenal istilah uzur.
Dalam da’wah ini berangkat ke medan perang dalam keadaan ringan, berat, susah, atau mudah. Semua mukmin harus berangkat, sehingga ketika ada sebagian sahabat yang uzur (berhalangan) dalam arti tidak dapat memenuhi panggilan da’wah karena tidak punya dana, kendaraan, sarana, atau fasilitas, mereka tidak kemudian santai mengatakan Alhamdulillah.
Hal ini berbeda dengan kondisi sebagian kader dan aktifis kita yang malah bersyukur, dan mengucapkan Alhamdulillah ketika mendengar liqo diliburkan (hayo, ada ga member fortar yg begini....ayo tobattt .
Para sahabat yang tidak dapat andil dalam perjuangan (tidak hadir), dan tidak punya kontribusi mengalami kesedihan yang luar biasa meski secara hukum syar’i tidak ada beban dosa. Tapi secara moral (psikologi) sebagai kader da’wah (aktifis da’wah), ketika tidak terlibat atau tidak berkontribusi tetap ada beban moral walau tidak berdosa. Karenanya pada prinsipnya keterlibatan dalam da’wah adalah pastisipasi aktif dan terlibat secara nyata dan punya kontribusi terus sehingga mereka bersedih. Sebagaimana yg dialami oleh ashabul bakiy, yg diabadikan oleh Allah dalam surat At Taubah ayat 92.
“Dan tiada pula berdosa orang – orang yang datang kepadamu, supaya engkau bawa mereka (pergi berperang), lalu engkau berkata kepadanya: Aku tiada memperoleh belanja untuk membawa kamu” Beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah meminta untuk difasilitasi untuk diangkut, diberi kendaraan untuk pergi ke medan perang, tapi kata Rasul mengatakan, “Saya tidak bisa lagi menfasilitasi kalian karena sudah sangat terbatas. Sudah tidak ada lagi dana, kendaraan, atau fasilitas. Kalian tinggal saja di rumah kalian, karena kalian tidak ada uzur (dosa) bagi kalian.”
Dan ketika Rasulullah mengatakan hal tersebut, air mata mereka mengalir sedih. mengapa demikian? Karena mereka tidak bisa bergabung atau tidak berkontribusi.
Adalah kerugian yang sangat besar ketika kita sebagai kader da’wah kemudian kita tidak punya kontribusi, tidak terlibat secara aktif. Karena orang lain mendapatkan pahala, atau kesempatan untuk bersejajar dengan para nabi, masuk surga, kemudian kita tertinggal. Ini yang harus dipahami betul oleh para kader dan aktifis. Bahwa kita harus bergerak atau sibuk untuk bekerja urusan – urusan da’wah.
Sebagai contoh, Abu Dzar Al Ghifari secara moral ada beban moral ketika tidak hadir, tidak berangkat, tidak terlibat, dan tidak punya peran walau dalam keadaan uzur. Karena ketika sudah mengikrarkan diri sebagai kader da’wah, maka harus berangkat. Artinya ketika sudah menyatakan diri sebagai kader da’wah, maka harus berangkat atau terlibat dalam setiap aktifitas da’wah. Selama ada modal iman, ada modal motivasi, akal sehat, pikiran sehat, harus berangkat walaupun harus jalan kaki 700 meter dari Madinah ke Syam. Abu Dzar Al Ghifari berjalan sendirian, di bawah panas terik matahari. Kenapa? Karena beliau memahami betul, bahwa sebagai aktifis da’wah dituntut untuk memberikan loyalitas keterlibatan aktif dalam perjuangan.
Ta’shil Haroki (kemurnian dalam berharaki), kader dan aktifis harus terus bergerak aktif dan produktif. Apalagi kita dituntut untuk lebih cepat atau agresif untuk kemenangan da’wah. Tidak mungkin kita akan meraih 20% menjadi 3 besar, kalau kita sendiri masih berat untuk melangkah. Untuk melangkah cepat saja belum tentu bisa memenangkan da’wah apalagi lambat. Kader da’wah harus melompat cepat dan agresif untuk melakukan ekspansi jika memiliki cita – cita mulia yaitu memenangkan da’wah..
Ingatlah baik – baik pesan Imam Hasan Al Banna. Beliau mengatakan, “Tidak layak untuk da’wah ini kecuali orang yang siap membela da’wah dengan segala potensi yang ia miliki.” Artinya sebagai kader dan aktifis kita harus siap berkorban dengan waktu, tenaga, pikiran, harta benda, istirahat, darah, nyawa, dan lainnya. Karena da’wah adalah darah daging bagi kader–kader da’wah yang layak mendapat kemenangan dari Allah. Karenanya keterlibatan dalam da’wah adalah kerja. Apalagi ketika kita di hadapkan pada banyak fitnah, banyak godaan, cobaan, huru hara, dan gelap gulita. Kita hidup dalam kondisi zaman yang rusak, yang bisa jadi bertambah kerusakannya jika eksistensi da’wah terancam karena sikap pasif para kader dan aktifis. Banyaknya fitnah, huru hara dan kegelapan bisa menjadikan seseorang pagi hari dalam keadaan mukmin sore hari ia menjadi kafir, sore masih mukmin pagi hari menjadi kafir. Apa yang Rasulullah gambarkan kini benar – benar mulai menunjukkan gejala atau indikasi kerusakan yang hebat, dimana kita menghadapi kekacauan yang luar biasa.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan oleh kader – kader terbaik da’wah untuk mengantisipasi hal ini?
diulang pertanyaannya, apa yang harus dilakukan oleh kader – kader terbaik da’wah untuk mengantisipasi hal ini?
Tidak ada pilihan untuk menghindari hal tersebut agar selamat kecuali dengan amal. Segera berbuat atau beramal sebelum datangkan kekacauan yang luar biasa dan lebih besar lagi. Karena saat itu umat akan sulit untuk membedakan yang hak dan yang batil.
Rasulullah menjelaskan bahwa beramal di saat – saat terjadinya kekacauan, banyak cobaan, ujian, nilainya sama dengan amal 50 orang sahabat. Ketika sahabat bertanya, “lima puluh orang kami atau lima puluh orang mereka?” lima puluh orang kalian” jawab Nabi.
Yang akan menyelamatkan kita disisi Allah adalah amal. Walaupun kita tidak pernah bertemu dengan Nabi, Abu Bakar, Umar.
Sekali lagi, Ta’shil da’awi adalah ta’shil haroki. Itulah yang dapat meloloskan kita dari fitnah besar yang akan menimpa umat.
Haroki harus terorganisir karena da’wah akan produktif dan haroki dapat berjalan efektif jika ia bergerak dalam struktur.
Para kader dan aktivis harus menghindari melakukan amal – amal yang liar. Amalnya bagus, baik, tapi liar karena tidak masuk dalam struktur organisasi, dan amal ini tidak banyak manfaatnya karena program – program yang sifatnya liar. Dan kita seringkali bersikap melakukan pembenaran terhadap amal – amal liar dengan beragumen, “Ini kan da’wah juga…,”
Sebagai kader da’wah kita harus ingat, cara – cara yang liar hanya berdampak sekejap dan berbahaya bagi da’wah. Padahal yang kita inginkan adalah da’wah yang terstruktur dan teorganisir dalam bingkai kebijakan umum atau strategi umum. Bukan hanya sekedar bergerak liar di luar struktur. Tapi yang teratur, dan tertib dalam aturan yang dibuat oleh system. Kalau sekedar bergerak, maka akan lebih banyak mudharotnya bagi da’wah.
ilustrasi amal liar yang berada di luar struktur diibaratkan dengan Air. Air kalau tidak mengalir ke kanal – kanal yang telah dipersiapkan, ia akan merusak jalanan. Dampaknya diantaranya aspal berlubang, lalu akan menimbulkan kemacetan akibat banjir bahkan dapat menjebolkan tambul.
Begitu juga ketika kita berharokah yang tidak terorganisir, tidak tertib. Cenderung hal ini akan merusak. Seperti aliran air yang tidak mengalir pada kanalnya. Karena itu, gerak yang kita lakukan harus mengacu pada konsep tarbiyah. Artinya jangan karena kita aktif lalu lupa pada tarbiyah.
Ada sebagian ikhwah kita yang aktif di berbagai lembaga, instansi non pemerintah seperti Ormas, LSM, Yayasan dan organisasi lainnya, tapi dia lupa mentarbiyah dirinya sendiri. Padahal amal haroki baru akan banyak faedah manakala berangkat dari tarbiyah. Karena dengan tarbiyah kita selalu diingatkan tentang keikhlasan, kesabaran, istiqomah agar hati tetap terjaga.
Yang sangat disayangkan, ada sebagian ikhwah kita yang aktif luar biasa terkadang tidak mencerminkan harokah. Artinya mengajak orang melakukan perubahan, berbuat baik, sementara perilaku hidupnya jauh dari nilai - nilai yang dia emban. Yakni bertolak belakang dengan apa yang disampaikan kepada masyarakat. Dia membicarakan tentang tarbiyah, sementara dia sendiri tidak tertarbiyah dengan baik. Mengajak kepada da’wah tapi lalai untuk mengimplementasikan nilai da’wah dalam kepribadiannya sebagai kader da’wah. Karena itu haroki harus ada dalam kendali tarbiyah.
mari kita ingat sebuah fragmen, bagaimana dialog sahabat Anshor dengan Rasulullah, “Ya Rasulullah, jika engkau kehendaki, kami siap dengan pedang – pedang kami untuk menghadapi kaum musyrikin saat ini juga.” Ketika rahasia pertemuan Rasulullah dengan para sahabat Anshor diketahui atau dibocorkan, maka Rasulullah mengatakan, “Lebih baik kamu pulang ke kampung kamu masing–masing menyebarkan da’wah, memperbanyak kader, memperluas da’wah dan kita belum waktunya untuk melakukan ini dan pada saatnya tiba kita akan melakukan ini.”
fragmen tsb menjelaskan bahwa menyebarkan dakwah, memperbanyak kader dan memperluas cakupan dakwah merupakan hal penting juga yang mesti kita pahami dan kita amalkan.
akhirnya, bila Ta’shil Ad Da’awi kita pahami dengan baik, Insya Allah kita akan menjadi kader dan aktifis yang terdepan untuk selalu menjaga kemurnian da’wah. Dalam kerja da’wah yang berat ini tentu sangat diperlukan pemahaman yang utuh mengenai At Ta’shil Ad Da’awi sehingga kita dapat mengembalikan umat ini kepada kemurnian da’wah yang memiliki landasan yang kuat, dan kokoh. Sebab mustahil kita akan memenangkan da’wah sementara kita tidak segera kembali kepada orisinilitas da’wah.
Wallahu a'lam...
Taujih Ustadz Fathur Izis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar