Dalam riwayat lain ditambahkan, "Tinggalkanlah perbuatan itu, tinggalkanlah perbuatan itu!" (HR Muslim [57] dan [103]). Dalam riwayat lain disebutkan, "Pintu taubat masih terbuka untuknya setelah itu!" (HR Muslim [57] dan [104]) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Memaki orang Muslim adalah perbuatan fasik dan memeranginya adalah kekufuran." (HR Bukhari [48] dan Muslim [64]).
Diriwayatkan dari Jarir r.a., ia berkata, "Tatkala mengerjakan haji wada', Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Suruhlah orang-orang diam!' Kemudian beliau berkata, 'Janganlah kalian kembali kepada kekufuran sepeninggalku dan saling menumpahkan darah di antara kalian'." (HR Bukhari [121] dan Muslim [65]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Ada dua perkara apabila manusia melakukannya mereka menjadi kufur; mencela keturunan dan meratapi orang mati'." (HR Muslim [67]). Diriwayatkan dari asy-Sya'bi, dari Jarir, bahwa ia mendengar Jarir berkata, "Budak mana saja yang melarikan diri dari tuannya, maka ia telah kufur sehingga kembali kepada tuannya." (HR Muslim [68]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu membenci bapakmu sendiri, barang siapa membenci bapaknya maka ia telah kufur." (HR Bukhari [6868] dan Muslim [62]).
Kandungan Bab:
Di antara hal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah, Kekufuran memiliki tingkatan, salah satu tingkatannya adalah kufrun duuna kufrin. Berdasarkan hasil penelitian dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabawi dalam masalah ini dan penggabungan beberapa dalil di dalamnya. Berikut penjelasannya:
Pertama: Rasulullah saw. menyebut sebagian dosa dengan kekufuran, sedang Allah masih memasukkan pelakunya dalam golongan kaum Mukminin. Allah SWT berfirman, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb-mu dengan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (Al-Baqarah: 178).
Dari penggabungan ayat dan hadits-hadits tersebut, dapat diketahui bahwa kufur yang dimaksud adalah kufrun duuna kufrin (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam). Berikut ini akan kami sebutkan alasannya:
- Si pembunuh tidak keluar dari golongan kaum Mukminin, bahkan masih termasuk saudara bagi wali korban yang menuntut qishash, sudah barang tentu persaudaraan yang dimaksud adalah persaudaraan seagama.
- Disebutkan keringanan hukuman setelah dimaafkan oleh wali korban yang terbunuh. Sekiranya si pembunuh kafir, murtad dari agama, tentunya tidak akan ada keringanan!
- Disebutkan kasih sayang setelah keringanan tersebut, dan maghfirah merupakan konsekuensi dari kasih sayang. Allah SWT tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa-dosa selain syirik. Maka jelaslah bahwa dosa selain syirik disebut kufur, namun tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Allah SWT berfirman, "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujuraat: 9-10).
- Allah SWT memasukkan kedua pihak yang saling berperang itu dalam golongan kaum Mukminin.
- Allah SWT menyebut mereka sebagai dua pihak yang saling bersaudara. Persaudaraan yang dimaksud tentunya persaudaraan seagama.
- Allah SWT menyebut mereka sebagai saudara bagi pihak yang mendamaikan keduanya. Tidak ragu lagi bahwa persaudaraan seimanlah yang menyatukan mereka.
- Allah SWT menyebut pihak yang berbuat aniaya sebagai kelompok pembangkang. Mereka berhak diperangi hingga mereka kembali kepada perintah Allah, yakni menerima perdamaian. Sekiranya mereka kafir, bermakna keluar dari agama, tentu mereka harus diperangi hingga beriman kepada Allah.
- Para ulama telah menyepakati hukum-hukum yang berhubungan dengan kelompok pembangkang ini, yaitu kaum wanita mereka tidak boleh ditawan, harta mereka tidak boleh dirampas, orang yang melarikan diri dari mereka tidak boleh dikejar, orang yang terluka dari mereka tidak boleh dibunuh. Sekiranya mereka kafir, tentu hukumnya tidak demikian, sebagaimana telah dimaklumi bersama tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan peperangan. Demikian pula dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa kedua pihak yang berperang itu masih termasuk kaum Muslimin, misalnya sabda Nabi tentang cucu beliau, Hasan bin Ali r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Cucuku ini adalah sayyid, semoga Allah mendamaikan melalui dirinya dua kelompok kaum Muslimin yang bertikai."
Allah SWT telah mendamaikan dua kelompok kaum Muslimin yang bertikai setelah Hasan bin Ali r.a. menyerahkan tampuk kekhalifahannya kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan r.a. pada tahun 40 H, tahun itu kemudian disebut sebagai tahun Jama'ah. Disebabkan barisan kaum Muslimin dapat disatukan setelah sebelumnya tercerai-berai.
Sekiranya dosa ini -yakni memerangi kaum Muslimin- hukumnya kafir, keluar dari agama, tentu sebagai konsekuensinya adalah pengkafiran para Sahabat r.a.! Itulah yang menyebabkan tapak kaki kaum Khawarij tergelincir ke dalam jurang takfir! Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan dari tidak mendapat taufik dan rahmat.
Abu Ubaid berkata dalam kitab Al-Iman (halaman 88-89) berkenaan dengan bantahannya terhadap kelompok yang mengkafirkan pelaku maksiat, "Kemudian kami dapati Allah SWT telah mendustakan perkataan mereka. Yaitu Allah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap para pencuri, hukuman cambuk bagi para pezina dan qadzif. Sekiranya perbuatan dosa tersebut menyebabkan pelakunya kafir, tentu hukuman mereka adalah mati! Sebab, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari disebutkan, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia!" (HR Bukhari [3017])
Tidakkah engkau perhatikan, sekiranya mereka itu kafir, tentu hukuman yang dijatuhkan bukanlah potong tangan atau cambuk!? Demikian pula firman Allah terhadap orang yang dibunuh secara zhalim, "Maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya," dan ayat seterusnya. (Al-Israa': 33).
Sekiranya membunuh hukumnya kafir, tentu tidak akan diberi kuasa kepada ahli waris korban untuk memberi maaf atau menerimam diyat, sebab pelakunya harus dibunuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu' al-Fataawa (VII/287-288), "Demikian pula setiap Muslim tentu mengetahui bahwa peminum khamr, pezina, qadzif dan pencuri, tidaklah digolongkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang murtad yang harus dibunuh. Bahkan, Al-Qur'an dan hadits-hadits mutawatir telah menjelaskan bahwa para pelaku kejahatan di atas berhak mendapat hukuman yang bukan merupakan hukuman orang murtad. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu hukuman cambuk bagi qadzif dan pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, dan hal ini telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi saw. Sekiranya para pelakunya murtad, tentu hukumnya harus dibunuh. Dua pendapat di atas telah diketahui kesalahannya karena bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw."
Saya katakan, bilamana maksiat tidak melenyapkan keimanan dan tidak menyebabkan pelakunya kafir, keluar dari agama, maka penafian iman yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah penafian kesempurnaan iman, bukan penafian iman secara keseluruhan. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Sabda Nabi saw., "Jika seorang hamba berzina, maka iman akan keluar darinya seperti naungan, dan apabila ia meninggalkannya, maka iman akan kembali kepadanya." (Shahih, HR Abu Dawud [4690]).
Adapun buktinya adalah dialog yang terjadi antara saya dengan salah seorang tokoh jama'ah takfir seputar hadits-hadits tersebut. Ia berdalil dengan hadits tersebut atas kafirnya pelaku zina, peminum khamr dan pencuri. Aku pun membela madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari sisi bahasa, saya katakan kepadanya, "Hadits-hadits ini tidak menunjukkan kepada apa yang Anda kehendaki dari sisi bahasa, ditambah lagi atsar-atsar Salafush Shalih dari kalangan Sahabat dan Tabi'in yang jelas bertentangan dengannya."
"Bagaimana itu?" tanyanya. Saya katakan: "Sebab, kalimat-kalimat setelah kata nakirah merupakan sifat, dan setelah kata ma'rifah merupakan hal. Kalimat-kalimat ini menjelaskan tentang keadaan penzina, pencuri dan peminum khamr, yaitu mereka telah melakukan perbuatan dosa dan keji. Jika ia telah meninggalkannya, maka keimanannya akan kembali kepadanya." Ia pun terdiam dan tidak mampu memberi jawaban.
Abu 'Ubaid dalam kitab Al-Iman (90-91) berkata, "Jika ada yang berkata, 'Bagaimana boleh dikatakan, 'Tidak beriman!' sementara status keimanan tidak tercabut darinya?' Maka jawabannya, 'Perkataan seperti itu dalam bahasa Arab sering digunakan dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Perkataan tersebut tidaklah menafikan amal dari pelakunya jika amal yang ia lakukan itu tidak sesuai menurut hakikat yang berlaku. Tidakkah engkau lihat mereka mengatakan kepada para pekerja yang tidak beres pekerjaannya, 'Engkau tidak mengerjakan apa-apa, engkau tidak melakukan apa-apa!' Maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukannya kurang beres. Bukan maksudnya ia tidak mengerjakan apa pun sama sekali. Jadi, secara status ia telah bekerja, namun dilihat dari hasil, ia belum bisa disebut telah bekerja. Bahkan, orang Arab menggunakannya dalam masalah yang lebih besar daripada itu. Sebagai contoh; Seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya dan selalu menyakitinya, maka orang-orang akan berkata, 'Ia bukanlah anaknya!' Padahal mereka semua tahu bahwa anak itu adalah anak kandung orang tersebut. Demikian pula halnya saudara, isteri dan para budak. Madzhab mereka dalam masalah ini adalah memisahkan amal-amal yang wajib atas mereka berupa ketaatan dan kebajikan. Adapun yang berkaitan dengan status nikah, perbudakan dan nasab, maka tetap berdasarkan nama dan status asalnya (yaitu, orang tersebut tetap sebagai saudara, isteri atau anak-pent). Demikian pula halnya dosa-dosa yang menafikan iman yang terhapus adalah hakikat keimanan. Di antara salah satu kriterianya adalah ketundukan kepada syari'at. Adapun yang berkaitan dengan status, menurut konstitusi syari'at, ia masih tetap Mukmin. Kami telah menemukan beberapa dalil yang mendukung pendapat ini dari Al-Qur'an dan As-Sunnah."
Masih banyak lagi beberapa dalil yang menunjukkan bahwa kufur yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah kufrun duuna kufrin. Tentu dalil-dalil tersebut tidak asing lagi bagi orang yang mencari kebenaran.
Demikian pula pengertian kata kezhaliman, kefasikan atau kemunafikan (yaitu bukan kezhaliman, kefasikan atau kemunafikan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam-pent). Dalil-dalil dalam masalah ini sangat banyak dan sudah populer, tidak perlu disebutkan lagi di sini. Silahkan lihat kitab ash-Shalaah karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, beliau telah membahas masalah secara ilmiah.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 140-147.
Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar